The Art of 'Paper Management'

Pernah pusing pas ngeliat kertas berserakan di kamar kita ???!!... .

“Laskar Programmer” UIN Maliki Malang

GEMA-Satu lagi bukti yang menunjukkan bahwa mahasiswa UIN Maliki Malang kaya akan kreatifitas...

The Next Generation of Superhero, is Us!

“Terkisah pada suatu malam yang kelam. Kala itu, semua penduduk bumi sedang terlelap. Jalanan sunyi....

WCU Itu 'Wong Cilik University' kan?

Maaf, tulisan ini hanya sebagai teman ngobrol saya aja.. Bukan utk tujuan aneh tertentu, karena isinya pasti tak berasa ilmiah dan minim kata-kata yang keren....

Harta, Tahta, Wanita, dan ............??

Duet dunia nyata dan dunia digital semakin intim saja. Dunia nyata semakin bergantung pada dunia cyber, dan dunia cyber kian kompleks....

Kamis, 24 Februari 2011

E-Learning Society

Situs InternetWorldStats.com menunjukkan bahwa pada sepanjang tahun 2009 pengguna internet (netter) di Indonesia mencapai angka 30 juta jiwa, atau 12,5% dari total penduduk seluruhnya (240,271,522 jiwa). Angka tersebut menempatkan Indonesia berada di rangking ke-13 pada daftar negara penyumbang pengguna internet di dunia (sebesar 1,7%). Hal ini mengindikasikan bahwa rakyat indonesia telah banyak yang menjadikan internet sebagai bagian dari gaya hidup (life style) mereka.

Tiga mhs UIN Maliki Malang di dpn gdg Rektorat
Istilah internet seringkali disebut juga dengan dunia internet atau dunia maya. Penggunaan kata "dunia" di sini seakan menganalogikan internet dengan dunia nyata. Hal tersebut dilandasi dengan kian banyaknya aplikasi internet yang turut menyempurnakannya menjadi sebuah dunia baru. Mulai dari kepemilikan website yang berfungsi sebagai rumah/toko/galeri online, online storage berfungsi sebagai gudang di internet, sampai dengan social networking yang berfungsi untuk menjalin pergaulan dengan netter lain. Ditambah lagi, dengan hadirnya teknologi yang mengadopsi dari konsep, aktivitas, dan produk di dunia nyata, seperti e-banking, e-ID, e-driving license, e-passport, e-commerce yang kesemuanya turut mengutuhkan komprehensivitas keduniaan internet.
Secara alamiah, manusia memiliki kebutuhan untuk berinteraksi, mendapat pengakuan, dan menjalin hubungan dengan orang lain. Hal ini tampaknya juga berlaku di internet. dibuktikan dengan kian membludaknya aplikasi social networking sampai hari ini. Interaksi tersebut memiliki tujuan dan kepentingan yang beragam. Salah satu diantaranya adalah untuk membangun sebuah komunitas (masyarakat) pembelajar dunia maya, atau bisa kita sebut dengan e-learning society.

E-learning society merupakan sebuah komunitas netter yang menjadikan e-learning sebagai aktivitas utamanya. E-learning society bisa dikelompokkan menjadi dua jenis, full e-learning society dan half e-learning society. Pada full e-learning society, aktivitas pokok learningnya sepenuhnya terjadi secara online, sedang pada half e-learning society, aktivitas learningnya terjadi secara online dan offline.
Untuk mewujudkan e-learning society yang berhasil dalam proses pembelajarannya, setidaknya terdapat empat elemen yang perlu diperhatikan: (1) Connection (koneksi internet yang lancar), (2) Collaboration (terjalinnya komunikasi antar anggota yang pro-aktif), (3) Innovation (lahirnya inovasi dan buah karya baru), dan (4) Cyber-Akhlaq (akhlaq yang tetap terjaga). Cyber-Akhlaq di sini dibutuhkan mengingat betapa mudahnya terjadi manipulasi informasi dan komunikasi di dunia internet.

Membumikan Pengetahuan Ala Ilmuwan Muda

Profesor Habibie bernah berkata, “Orang yang pintar adalah mereka yang mampu menyederhanakan sesuatu yang rumit hingga mudah dipahami oleh orang lain”. Dengan kata lain, berdasar aksioma di atas, jika terdapat sebuah negeri yang masyarakatnya mengalami kesulitan dalam memahami referensi keilmuan, apa yang menjadi penyebabnya?

Sejatinya republik ini tidak kekurangan sumber daya profesor, pakar, ahli, ilmuwan, guru besar, intelektual, maupun maestro. Seringkali kita temui pengukuhan guru besar, poster call for papers, seminar nasional, invensi-invensi baru, beragam kompetisi ilmiah yang digelar, dan kampus yang melaksanakan wisuda sampai empat kali pertahun.

Hanya saja, para ilmuwan tersebut bak hilang entah kemana. Masyarakat non-akademis masih banyak yang belum merasakan kehadiran mereka dan pengetahuan (knowledge) yang mereka kuasai. Bisa dikatakan, selama ini masyarakat hanya menjadi sasaran iklan produk komersil, gosip sensasional selebritis, dan pemenuhan kepentingan dibalik permainan isu saja. Akibatnya, public figure dari lingkungan akademik menjadi sedikit. Masyarakat banyak yang mengidolakan dan meneladani figur-figur yang sering mereka lihat dan dengar dari media massa, yang sedikit sekali dari kalangan ilmuwan.

Disinilah urgensi menjadi ilmuwan yang membumi perlu diaktualisasikan. Dengan tujuan selain untuk mencerdaskan masyarakat melalui pemerataan pengetahuan milik para ilmuwan, juga untuk menciptakan lingkungan yang bernuansa akademik agar terpelihara motivasi masyarakat untuk selalu mencari ilmu dan melakukan riset. Tidak sedikit hasil riset yang sebetulnya dibutuhkan masyarakat tapi kurang tersosialisasikan. Dan tidak sedikit pula generasi yang semula bercita-cita menjadi profesor akhirnya berubah menjadi selebritis. Memang benar, beragamnya jenis profesi bisa sebagai ladang amal dan karya, tapi kurang baik juga apabila tidak merata dan seimbang.

Mari kita rumuskan bersama metode-metode untuk membumikan pengetahuan. Berhubung penulis masih baru dalam dunia akademik dan ingin sekali menjadi ilmuwan, maka yang berikutnya ini bisa dikatakan mimpi seorang akademisi muda yang ingin sekali membagi sedikit pengetahuannya kepada masyarakat.
  1. Memposterkan pengetahuan (khususnya hasil riset). Poster yang dikemas secara sederhana, menarik, mudah dipahami, dan merakyat akan bisa dikonsumsi oleh banyak lapisan masyarakat. Poster tersebut ditempatkan di lokasi yang sering dikunjungi masyarakat. Contohnya; pasar, masjid/musholla, kantor kelurahan, puskesmas, dan pos ronda. Kita sebut metode ini dengan civil posterization.
  2. Membuat komik edukasi (educational comic). Romi Satrio Wahono (pendiri ilmukomputer.com), dalam bukunya “Dapat Apa Sih dari Kampus” [Zip Books, 2009] menyebutkan bahwa di negara Jepang sudah banyak beredar komik edukasi. Mulai dari yang membahas pelajaran tingkat dasar sampai level perguruan tinggi. Maka tidak mengherankan jika di lorong-lorong kereta listrik (densha) dan stasiun densha (eki) di Jepang bertebaran pembaca-pembaca buku dari berbagai usia. Bacaan tersebut bisa berupa seri komik (manga) maupun buku bergambar (zukai).
  3. Mengemas pengetahuan ke dalam seri populer, baik berbentuk novel, film, maupun karya populer lainnya. Di dalam seri populer tersebut, kita menjadikan knowledge sebagai topik utama atau pelengkap demi keutuhannya. Contoh yang sudah ada diantaranya novel The Blue Nowhere yang sangat berkait dengan dunia hacking, novel Digital Fortress yang berbasis kriptografi (ilmu persandian), dan yang lainnya.
  4. Melakukan riset atau menghasilkan produk ilmiah yang merakyat. Dengan kata lain, masalah yang diangkat dalam riset sebaiknya juga yang berkenaan dengan kehidupan masyarakat banyak. Agar masyarakat bisa langsung menikmati dan mendapat bagian pemahaman dalam proses riset tersebut. Serta melaksanakan atau memakai hasil riset kita sendiri.
  5. Menjadi jurnal berjalan (walking journal). Pengetahuan yang kita dapatkan dari jurnal, buku, surat kabar maupun hasil riset kita sendiri, kita sampaikan kepada masyarakat. Walaupun berbekal ilmu komunikasi yang kurang memadai, asalkan kita ikhlas menyampaikan dan memahami yang kita sampaikan, insyaAllah sedikit-banyak lawan bicara akan mengerti.
  6. Bergabung dengan komunitas yang mempunyai goal bersama untuk menjadi sekumpulan ilmuwan yang membumi.
Metode-metode di atas ada yang bisa dijalankan secara personal maupun bekerja sama dengan orang lain. Alla kulli hal, ada hadist Rasulullah SAW yang berbunyi “Sebaik-baik manusia diantaramu adalah yang paling banyak manfaatnya bagi orang lain [HR. Bukhori]”. Maka, mari bersama-sama menjadi ilmuwan muda yang terbaik, yaitu ilmuwan yang paling produktif berkontribusi kepada masyarakat. Harapannya, semoga kedepannya semakin banyak ilmuwan muda yang membumikan pengetahuannya, bukan malah mengebumikannya. Wallahua’lam bishshowab. []

Rabu, 23 Februari 2011

Kami Orang Desa Yang Tak Punya Nasionalisme

Salam kenal untuk para pembaca yang budiman... Perkenalkanlah, kami adalah sebagian kecil orang desa dari sekian banyak orang desa yang menjadi rakyat di republik ini. Dan ketika semua orang ramai-ramai membincang nasionalisme, maka ijinkanlah kami untuk berbicara jujur. Bahwa kami sebagai orang desa, sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang nasionalisme itu, dan sekaligus tidak memilikinya. Jadi, tolong dengarkan sejenak pengakuan kami yang sederhana ini. Dan mohon maaf sebelumnya...

Kalau yang disebut nasionalisme itu adalah melakukan demonstrasi kesana kemari sembari merusak harta rakyat, maka kami bukan golongan yang punya nasionalisme. Sebab jalannya nasehat di lingkungan tetangga kami dilakukan dengan nuansa kekeluargaan dan sedikit sekali teriakan terdengar. Kami lebih suka menasehati baik-baik ketimbang merusak.

Kalau nasionalisme itu ditandai dengan adanya kepemilikan bendera merah-putih, berarti kami belum punya nasionalisme. Sebab – tentu saja kami dan tetangga kami tak punya bendera merah-putih itu. Yang kami punya cuma seragam putih-merah milik anak dan cucu kami. Sebenarnya, malu juga kalau tidak mampu membeli bendera sekecil itu, tapi kami merasa lebih malu lagi kalau anak kami tidak bisa ke sekolah. Tolong maklumilah kami yang serba kekurangan ini.

Kalau seorang pejabat disebut orang yang paling mengerti apa itu nasionalisme, maka – sekali lagi kami belum punya hal itu. Kalian tahu, arti kata oposisi dan koalisi saja kami tidak paham, yang kami paham cuma istilah saling menasehati dan saling tolong, itu saja.

Kalau orang-orang yang berbaris saat upacara agustus-an adalah mereka yang punya nasionalisme, maka – lagi-lagi kami tidak punya nasionalisme. Kami harus pergi ke sawah dan tidak punya waktu untuk berdiri santai di lapangan. Biarkanlah barisan padi atau tanaman kami di sawah ini menjadi saksi, bahwa sebenarnya kami sangat ingin berbaris di lapangan itu untuk menghormati perjuangan dan pengorbanan para leluhur kami. Biarkanlah sawah ini yang menjadi lapangan upacara kami.

Kalau ketika seseorang yang hafal Undang-undang Dasar 1945, Pancasila, Sumpah Pemuda, dan teks negara lainnya dikatakan orang yang punya nasionalisme, maka kami mohon maaf karena belum hafal teks-teks kebangsaan itu. Yang kami hafal cuma doa-doa shalat dan bacaan tahlilan. Kami tak punya waktu untuk menghafal itu semua dan kepala kami sudah penuh sesak dengan seabrek masalah.

Dan kalau kalian sebut nasionalisme itu cinta tanah air, maka untuk yang satu ini kami akan berteriak dengan lantang, “Cukup sudah! Kami bosan dengan permainan istilah dan definisi yang selalu saja membutakan mata hati kita. Tolong dengarkanlah pengakuan kami. Kami cinta desa kami, beserta seluruh desa lainnya di sentero nusantara ini. Kami juga cinta para tetangga kami, serta semua tetangga yang ada di Sabang sampai Merauke sana, mereka tetangga jauh kami. Dan, kalau kalian merasa lebih mengerti tentang arti nasionalisme, maka ajarkanlah kami tentang pengorbanan, kejujuran, kesederhanaan, dan istiqomah terlebih dahulu!”

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More