Tiga mhs UIN Maliki Malang di dpn gdg Rektorat |
GEMA-Satu lagi bukti yang menunjukkan bahwa mahasiswa UIN Maliki Malang kaya akan kreatifitas...
“Terkisah pada suatu malam yang kelam. Kala itu, semua penduduk bumi sedang terlelap. Jalanan sunyi....
Maaf, tulisan ini hanya sebagai teman ngobrol saya aja.. Bukan utk tujuan aneh tertentu, karena isinya pasti tak berasa ilmiah dan minim kata-kata yang keren....
Duet dunia nyata dan dunia digital semakin intim saja. Dunia nyata semakin bergantung pada dunia cyber, dan dunia cyber kian kompleks....
Tiga mhs UIN Maliki Malang di dpn gdg Rektorat |
Salam kenal untuk para pembaca yang budiman... Perkenalkanlah, kami adalah sebagian kecil orang desa dari sekian banyak orang desa yang menjadi rakyat di republik ini. Dan ketika semua orang ramai-ramai membincang nasionalisme, maka ijinkanlah kami untuk berbicara jujur. Bahwa kami sebagai orang desa, sama sekali tidak mengerti apa-apa tentang nasionalisme itu, dan sekaligus tidak memilikinya. Jadi, tolong dengarkan sejenak pengakuan kami yang sederhana ini. Dan mohon maaf sebelumnya...
Kalau yang disebut nasionalisme itu adalah melakukan demonstrasi kesana kemari sembari merusak harta rakyat, maka kami bukan golongan yang punya nasionalisme. Sebab jalannya nasehat di lingkungan tetangga kami dilakukan dengan nuansa kekeluargaan dan sedikit sekali teriakan terdengar. Kami lebih suka menasehati baik-baik ketimbang merusak.
Kalau nasionalisme itu ditandai dengan adanya kepemilikan bendera merah-putih, berarti kami belum punya nasionalisme. Sebab – tentu saja kami dan tetangga kami tak punya bendera merah-putih itu. Yang kami punya cuma seragam putih-merah milik anak dan cucu kami. Sebenarnya, malu juga kalau tidak mampu membeli bendera sekecil itu, tapi kami merasa lebih malu lagi kalau anak kami tidak bisa ke sekolah. Tolong maklumilah kami yang serba kekurangan ini.
Kalau seorang pejabat disebut orang yang paling mengerti apa itu nasionalisme, maka – sekali lagi kami belum punya hal itu. Kalian tahu, arti kata oposisi dan koalisi saja kami tidak paham, yang kami paham cuma istilah saling menasehati dan saling tolong, itu saja.
Kalau orang-orang yang berbaris saat upacara agustus-an adalah mereka yang punya nasionalisme, maka – lagi-lagi kami tidak punya nasionalisme. Kami harus pergi ke sawah dan tidak punya waktu untuk berdiri santai di lapangan. Biarkanlah barisan padi atau tanaman kami di sawah ini menjadi saksi, bahwa sebenarnya kami sangat ingin berbaris di lapangan itu untuk menghormati perjuangan dan pengorbanan para leluhur kami. Biarkanlah sawah ini yang menjadi lapangan upacara kami.
Kalau ketika seseorang yang hafal Undang-undang Dasar 1945, Pancasila, Sumpah Pemuda, dan teks negara lainnya dikatakan orang yang punya nasionalisme, maka kami mohon maaf karena belum hafal teks-teks kebangsaan itu. Yang kami hafal cuma doa-doa shalat dan bacaan tahlilan. Kami tak punya waktu untuk menghafal itu semua dan kepala kami sudah penuh sesak dengan seabrek masalah.
Dan kalau kalian sebut nasionalisme itu cinta tanah air, maka untuk yang satu ini kami akan berteriak dengan lantang, “Cukup sudah! Kami bosan dengan permainan istilah dan definisi yang selalu saja membutakan mata hati kita. Tolong dengarkanlah pengakuan kami. Kami cinta desa kami, beserta seluruh desa lainnya di sentero nusantara ini. Kami juga cinta para tetangga kami, serta semua tetangga yang ada di Sabang sampai Merauke sana, mereka tetangga jauh kami. Dan, kalau kalian merasa lebih mengerti tentang arti nasionalisme, maka ajarkanlah kami tentang pengorbanan, kejujuran, kesederhanaan, dan istiqomah terlebih dahulu!”